Assalamu'alaikum!
Akhirnya di bulan Mei 2020 aku berhasil nulis lagi. Lima bulan awal di 2020 ini cukup penat dan melelahkan. Bukan aku, tapi semesta. Aku disini masih sama saja seperti sebelumnya, tapi dunia sedang pikuk dan butuh istirahat. Jadi selamat istirahat ya, bumiku. Semoga segera pulih dan membaik seperti semula.
Di liburan kali ini, sebenarnya aku pengen nulis banyaaak! Aku sedikit nyesel kenapa kemarin-kemarin mager banget buat nulis, padahal aku sudah menjalani begitu banyak momen baik selama 2019 kemarin, tapi hanya berujung di story Instagram. Maka di postingan kali ini aku mulai saja dari momen terbaik terakhirku di bulan Mei ini. Semoga di momen #StayAtHome kali ini, aku bisa menulis banyak, walaupun bahan tulisannya (mungkin) sedikit basi dan kadaluwarsa.
Seperti judulnya; Tentang Kerto.
Tapi kali ini aku menulis untuk terakhir kalinya sebelum (waktu posting ini sudah sih) aku pindah. Tsah, terakhir kali gitu, ya. Lebih tepatnya ucapan terimakasih karena Kerto telah membersamaiku selama kurang lebih empat tahun ini. Bagiku, empat tahun di Kerto bukan hanya sekadar tempat tinggal selama di Malang, tapi jauh dari itu Kerto banyak mengajarkanku perihal arti "merantau" dan "kesederhanaan".
Kerto sangat sederhana, menurutku. Dan apapun tentang kesederhanaan, aku selalu menyukainya. Kerto-kertoan ini tidak lebih dari sebuah daerah permukiman warga yang berbatasan dengan kampus, bergang sempit, ramai lalu lalang mahasiswa baik yang berkendara maupun pejalan kaki, dan untuk mewakili deskripsi tentang Kerto, ialah; semua ada di Kerto. Mulai dari kedai-kedai makanan murah meriah (makan 7 ribu aja udah kenyang banget woe), warung sembako kecil-kecilan, tempat fotokopian yang buka 24 jam, sampai tempat laundry yang menjamur dimana-mana. Jadi, kalau berbicara tentang adaptasi, seharusnya aku tidak perlu khawatir lagi. Segalanya sudah tersedia dan serba murah. Apalagi Kerto sangat menjunjung tinggi kesejahteraan mahasiswa, terutama perihal makanan.
Pertama kali ke Malang adalah saat musim liburan akhir semester tahun 2013, sekaligus menjadi momen kali pertama aku jatuh cinta sama Malang dan setiap sudutnya! Termasuk Kerto ini. Sederhana, tapi suatu saat aku berjanji akan kesini lagi. Kerto mungkin menjadi salah satu alasan Allah menitipkanku di Malang, supaya aku banyak belajar dari hal-hal sederhana. Aku ingat bagaimana aku berusaha mati-matian untuk masuk UI, tapi pada akhirnya aku tetap mendapatkan jawaban terbaik yang dari dulu selalu aku impikan; yaitu tinggal di Malang. Mungkin kalau aku di UI yang suasananya hampir sama seperti Banten aku belum tentu bisa belajar hal-hal baru nan sederhana seperti aku di Malang saat ini.
Selain sederhana, Kerto sangat ramah dan hidup.
Disini, mushola ada dimana-mana. Di setiap gang selalu ada. Jadi sudah pasti aku akan mendengar suara adzan tiap lima waktu dan kebangetan kalau lagi tidur nggak langsung bangun atau tiap dengar adzan nggak langsung sholat. Acara rutinan mushola pun sering diadakan mulai dari qosidahan, sholawatan, kajian-kajian, sampai tiap ada pengajian atau acara selalu diadakan di tengah jalan yang menutup akses jalanan bagi pengendara yang lewat, hahaha. Sejak di Kerto, aku serasa ikut sholat jumat saking khutbahnya menggema sampai kamar dan nggak mungkin aku nggak denger. Langsung auto ingat dosa-dosa, sih.
Selain itu, kedai makanan yang ada dimana-mana sangat menguntungkanku karena dengan begitu aku nggak perlu bingung perihal mengenyangkan perut. Yang paling terpenting adalah murah meriah, pakai bold! Makanan favoritku adalah nasi dan tempe bakar di salah satu kedai makanan, dan segitu cuma tujuh ribu, lengkap dengan lalapan timun dan kemangi plus sambal ijonya yang masyaAllah aku selalu minta dua plastik saking enaknya! Abis itu kembalian tiga ribunya masih bisa aku foya-foyain buat beli air putih botol 1,5 liter. Terus aku makan deh di kosan sambal nonton yutub. Enak banget gaksih hidupku, pantes aku betah jomlo. Eh ada lagi! Selain itu, aku juga suka nasi goreng dimanapun yang ada di Kerto karena cuma 12 ribu udah dapet nasi goreng segunung plus telur dadar (kalau ga pakai telur ya cuma 10 ribu). Aku tiap makan nasi goreng Kerto selalu engap saking banyaknya tapi sayang kalau ga diabisin. Btw, Kerto adalah spesialisasi warteg, lalapan, geprek-geprekan, dan nasi goreng. Kalau bulan Ramadhan juga ga perlu bingung mau beli takjil dan sahur dimana, jam-jam sahur tuh banyak warung makan yang buka dan ramai pula orang yang ngantri sampe-sampe pas aku datang dah tinggal remah-remah perkedel. Btw, kalau pas Coronsky gini lumayan agak sepi. Huhu.
Selain perihal makanan, sudah pasti fasilitas yang lain seperti tempat fotokopian, tempat laundry, dsb, juga ikut mendukung kesejahteraan warga Kerto (nggak ding, lebih tepatnya mahasiswa atau perantau, wkwk). Kerennya di Kerto adalah ada tempat fotokopi 24 jam (untuk urusan yang super-memudahkan kayak gini aku memang norak banget haha!). Inget banget waktu itu pernah ada tugas yang harus ngeprint gambar atau entahlah aku lupa, dan aku baru nyelesaiin tugas jam setengah satu pagi hahaha gils memang, tapi aku nggak mau gupuh besok pagi karena harus berangkat jam setengah 8 pagi (plus aku nggak ada printer di kosan), akhirnya jam 1 pagi aku keluar kosan untuk ke tempat fotokopian 24 jam itu demi ketenangan jiwa raga, dan sampe sana banyak mahasiswa yang sama nokturnal-nya seperti aq maybe, lebih tepatnya procrastinator, yang sibuk ngeprint tugas, skripsi, jurnal, dsb. Jam 1 pagi lho, dan masih banyak yang warnetan juga buat ngerjain tugas. Ajaib memang, siangnya ngapain aja deh kita tuh?
Tentang warga Kerto, sudah pasti sangat ramah dan menyenangkan. Kayaknya selama empat tahun di Kerto, aku nggak pernah sekalipun dapat perlakuan tidak menyenangkan atau semacamnya. Semuanya baik dan sopan. Aku juga belajar banyak dari warga Kerto perihal sopan santun ini, walaupun kelemahanku tetap mandarah daging yaitu nggak bisa ngomong Bahasa Jawa, huhu. Disini selain berteman dengan warga kosan, aku juga banyak berteman dengan warga Kerto mulai dari mbak-mbak laundry, mas fotocopy, ibu lalapan, bapak nasi goreng, adik-adik Kerto, bahkan sobat perang di game SimCity-ku ternyata mahasiswa yang di tinggal di Kertopamuji. Lawak sih, dari sekian juta orang di SimCity, kenapa harus warga Kerto juga.
Aku selalu ingat saat pulang malam dari kepanitiaan di FKG dalam kondisiku belum makan malam, aku mampir ke tempat lalapan favoritku, ibu lalapan tersebut langsung menanyakanku, "Tumben pulang cepat? Biasanya baru kesini jam 9. Masih sibuk ngospek ya?" and suddenly these little things mean a lot to me. Padahal rasanya aku seperti sudah lama nggak bertemu beliau, tapi pertanyaan kecil itu tiba-tiba light my night up. Atau aku yang ketika mengunjungi salah satu kedai makanan, penjaga kasirnya auto tau kalau aku bakal pesan tempe bakar dengan nasi setengah porsi, tapi monmaap mas saya mau pesan tempe goreng sajha. Atau mbak laundry yang out of nowhere tiba-tiba menanyakan, "Kapan koasnya, mbak?" dan alhamdulillah pertanyaan itu menjadi doa yang sekarang sudah terjawab. Banyak hal-hal kecil yang seketika menjadi sangat berarti untuk aku si anak perantau dari warga Kerto yang super ramah dan menyenangkan.
...dan masih banyak lagi.
Maka aku menulis ini sebagai pengingat diriku, bahwa tempat ini pernah menjadi saksi sepersekian fase hidupku yang mendorongku untuk terus tumbuh dan belajar. Kali kedua aku merantau, di tempat jauh, harus berpisah dari keluarga, mau nggak mau aku harus menjadikan tempat persinggahanku disini sebagai Rumah; agar aku bisa lebih menguatkan diri untuk terus berjalan, walau harus keluar dari zona nyaman.
Aku akan selalu rindu tentang Kerto dan segala kebaikan yang pernah aku saksikan di dalamnya. Aku akan rindu menyusuri labirin Kerto yang tidak berujung, akan rindu mendengar pedagang yang lewat sambil bersuara lantang menjajaki dagangannya, akan rindu untuk belajar bersyukur di pagi buta melihat pemulung sampah yang giat bekerja tanpa ingin mengganggu warga sekitar, akan rindu suara anak kecil yang bersorak tiap sore dan malam, akan rindu suara-suara yang mengalun dari mushola-mushola Kerto, akan rindu duduk di kedai makanan menunggu pesanan sambil memperhatikan para mahasiswa supersibuk yang berlalu lalang, dan akan selalu rindu menghangatkan diri (bersamanya) di bawah terik matahari pagi featuring dinginnya kota Malang bulan April. Ceila, hahaha!
Aku belajar banyak dari Kerto dengan segala kesederhanannya. Bahwa ternyata kita nggak harus mencari hal-hal besar untuk menjadikan sesuatu itu berharga. Justru dari hal-hal kecil, jika kita bisa menikmati setiap celahnya, maka akan menjadi sesuatu yang berharga. Kurang lebih Malang terutama Kerto menjadikanku seperti ini. Pilihan dan jalan setiap orang memang berbeda, tapi kalau aku boleh memilih, aku ingin seperti ini saja.
Sederhana,
tapi aku bahagia.
Terimakasih Kerto,
it's time for me to move to another page,
in another good place.