Asyiknya Menjadi Diri Sendiri

7:58:00 PM

            Namaku Chika. Semua orang tentu mengenalku. Aku terkenal sebagai anak yang cerewet, ingin tahu, dan tidak mau diam. Aku hampir dicap sebagai anak nakal saat aku masih TK. Aku tidak seperti anak perempuan lainnya yang kebanyakan senang berkutik pada boneka dan kecantikan. Aku lebih suka memanjat pohon dan berlama-lama di atas sana, mencari ikan di kolam berlumpur, bermain tanah, dan masih banyak hal-hal aneh lainnya yang sering kulakukan.
            Sekarang aku sudah kelas 4 SD. Mama bilang, aku bukan anak kecil lagi. Jadi aku harus bisa belajar menjadi dewasa, harus bisa tahu mana yang benar dan tidak. Tapi, aku tidak mempedulikan apa kata mama. Aku tetap ingin bermain sesuka hatiku!
            Esoknya, aku bangun pagi sekali. Hari ini adalah Hari Senin. Seperti biasa, sebelum sekolah aku memberi makan kelinciku terlebih dahulu.
“Moli, ayo dimakan kangkungnya! Kangkung ini kuambil dari kulkas. Ayo, dimakan!” seruku sambil memberikan seikat kangkung segar kepada kelinciku. Moli mencium kangkung itu. ‘Hm, lezat!’ pikirnya. Moli pun memakan kangkung itu dengan lahap. Aku senang sekali melihatnya.
Setelah itu, aku berangkat ke sekolah dengan diantar mama. Saat aku datang, sekolah sudah ramai sekali. Semua anak sudah bersiap-siap untuk melaksanakan upacara Hari Senin. Aku langsung buru-buru menaruh tasku dan berhambur bersama teman-temanku.
“Hai, Chika!” sapa Sara padaku.
“Hai, Sara!” balasku sambil tersenyum. Sara adalah sahabat dekatku. Aku mengenalnya karena dulu rumah kami bersebelahan, tetapi sekarang ia sudah pindah agak menjauh dari rumahku, tetapi masih satu kompleks denganku.
“Lihat, aku beli gelang baru, lho! Bagus, kan?” Sara menunjukkan gelang warna pink mengkilat yang bergemerincing itu. Semua teman-temanku menoleh dan aku terbelalak.
Hihihi, mirip kalung kucingku.” Aku terkikik melihat gelang Sara bergemerincing. Sara tertawa mendengarku.
Teman kami, Adel, ikut menanggapi gelang Sara. “Sara, di sekolah kan, tidak boleh pakai hiasan yang mencolok!”
“Ini tidak mencolok, Adel. Toh, harganya lima ribuan!” Sara tertawa.
“Oya, Chika, mulai hari ini aku akan menjadi perempuan yang baik, dan aku tidak memanjat pohon lagi!” bisik Sara padaku. Aku hanya terdiam mendengar bisikkan Sara. Tiba-tiba bel berbunyi, semua anak mulai berbaris di lapangan.
J
            Di rumah, aku memikirkan kata-kata Sara saat di sekolah. Seharian tadi, Sara tidak seperti yang dulu lagi. Sara tampak bertingkah laku manis selama di sekolah. Ia tidak lagi tertawa keras sepertiku, ia tertawa lembut penuh kewibawaan. Saat aku bercanda bersama teman-teman yang lain, ia malah berhambur bersama Irene, dan mereka menyiram tanaman kelas. Untungnya, aku sempat bertanya pada Sara saat makan siang.
 “Sara, kenapa kau tidak memanjat pohon lagi?” tanyaku.
            “Karena aku perempuan dan sudah kelas 4 SD, aku bukan anak kecil lagi! Jadi aku harus bisa menjadi anak yang baik. Kau juga, Chika! Jangan suka bertingkah aneh seenaknya!” ujar Sara.
            “Memangnya, aku aneh kenapa?” tanyaku tak mengerti.
            “Kau tahu, anak perempuan tak boleh sembarangan bertingkah! Seorang putri raja sangat menjaga penampilannya. Ia selalu memakai gaun yang indah, ia pintar menari dan bernyanyi, rambutnya terawat dan indah!” ujar Sara yang semakin membuatku tidak mengerti. Sara bicara apa, sih? Aku terus melanjutkan makanku.
“Satu lagi, kau jangan sering-sering bermain dengan tanah dan hal-hal menjijikkan itu lagi, Chika!”
            Aku tersedak. Sara tidak salah?
            Dulu, aku dan Sara selalu bersama. Aku pernah diajak ke rumah pamannya yang mempunyai perkebunan dan peternakkan yang luas. Disana, benar-benar seperti suasana desa. Aku dan Sara suka sekali bermain lumpur, mengejar bebek, memandikan kerbau, berlari-lari di ladang jagung, bermain lumpur, dan memberi makan hewan ternak. Sejak itu aku dan Sara menjadi anak yang tidak takut kotor. Tapi, sekarang? Sara malah melarangku untuk bermain tanah dan hal-hal menjijikkan itu lagi.
J
            Sudah tiga hari berlalu sejak Sara berubah. Hari ini sekolah kami libur, karena tanggal merah Nasional. Aku sudah janji dengan Sara untuk pergi membeli alat-alat yang diperlukan untuk pelajaran kesenian Hari Jum’at. Sebelum berangkat, aku harus menjemput Sara terlebih dahulu. Ternyata, Sara sudah siap dengan kaos warna pinknya dan rok sebatas lutut dengan motif bunga-bunga. Rambutnya dikucir kuda dengan pita warna-warni.
            “Sara, kita mau ke toko buku bukan ke pasar ataupun ke wonderland!” pekikku saat melihat penampilan Sara yang lain dari biasanya.
            “Ya, memang. Kenapa?”
            “Tidak, kau mirip mamaku kalau ingin ke pasar, dan pita warna-warnimu, kau jadi lebih mirip badut. Kau kenapa, sih?”
            “Badut kan, tidak pakai pita warna-warni, Chika! Tapi terimakasih, lho!” Ia memelukku sambil berteriak pas di telingaku.
            “Lho, kok, kau malah berterimakasih?” tanyaku heran.
            “Bilang saja aku cantik dengan gaya seperti ini. Ya, kan?” ujarnya tertawa. Aku pura-pura tidak mendengarnya. Sepanjang jalan, Sara bernyanyi dengan riang, dan aku hanya mendengarnya dengan bersabar. Sesekali aku harus menutup kedua telingaku karena ia bernyanyi dengan keras dan keluar dari batas peraturan bernyanyi.
            Saat di toko buku, kami pun membeli alat-alat kesenian yang kami perlukan. Setelah membayar di kasir, tiba-tiba ia menarikku menuju tempat buku-buku.
            “Kau ingin membeli buku apa? Kau kan, tidak suka membaca?” tanyaku.
            “Aku ingin melihat majalah fashion. Disini menjual berbagai buku dan majalah tentang fashion.” jawabnya sambil mencari-cari majalah yang ia maksud. Aku mengikutinya dari belakang.
            “Nah, ini dia!” serunya sambil menunjukkan majalah fashion yang terlihat tebal itu kepadaku.
            “Apa, sih, bagusnya? Majalah itu kan, buat ibu-ibu!” kataku tak tertarik sama sekali.
            “Aduh, kau belum baca, sudah bilang begini-begitu. Ayo, lihat dulu!”
            Sara membaca keras-keras sambil sesekali terlihat takjub melihat gambar-gambar gaya fashion yang terlihat tidak jelas bagiku.
            “Sara, ini bukan perpustakaan. Ini toko buku. Kalau kau ingin membaca, kau harus membelinya terlebih dahulu!” bisikku pada Sara sambil melihat sekeliling kalau tiba-tiba petugas toko buku mengusir kami karena diam-diam membaca buku tetapi tidak membelinya.
            “Uangku sudah habis.” bisiknya. Aku tertawa dalam hati. Setelah Sara selesai membaca majalah, ia mengajakku pulang. Raut wajahnya tampak senang dan seperti ada sesuatu yang sudah tidak sabar akan ia lakukan.
            “Chika, besok aku akan meminta mama untuk mengantarku ke salon!”
            “Salon? Sejak kapan kamu jadi suka dengan hal-hal yang berbau salon begitu, Sara?” tukasku. Setahuku, Sara benci sekali dengan salon apalagi pergi kesana.
            “Di majalah tadi bilang, kalau mau dapat rambut yang indah, kita bisa creambath di salon.” katanya.
Aku menepuk keningku. ‘Sara kenapa jadi seperti ini?’ tanyaku dalam hati.
J
            Sesampai di rumah, aku segera menuju kamarku. Aku menghadap kaca dan melihat penampilanku yang terlihat seperti laki-laki. Sara juga suka berpakaian sepertiku. Tapi itu dulu, sekarang ia sudah berubah seperti kebanyakan perempuan. Dengan Sara seperti itu, apakah aku harus berubah menjadi seperti Sara? Memakai baju perempuan, rambut digerai indah atau dikuncir kuda, dan tidak memanjat pohon lagi?
            Tiba-tiba mama mengetuk pintu kamar dan menemuiku.
            “Mama, sebenarnya aku cocok pakai baju perempuan atau berpakaian seperti ini?” tanyaku menghampiri mama.
            “Hah?” mama kaget mendengar pertanyaanku.
            “Mau pakai baju apapun, kau tetap cantik, Chika! Jadilah dirimu sendiri.” ujar mama sambil menepuk pundakku. Aku dan mama berkaca bersama. Lalu kami tersenyum.
            “Tapi, Ma, boleh aku pakai dress yang pernah mama belikan waktu itu?”
            “Tentu saja, kau akan terlihat lebih cantik!” kata mama tersenyum. Aku segera mengganti baju mainku dengan dress selutut bermotif bunga-bunga. Mama pun mengepang rambutku. Aku jadi semakin mirip putri Inggris!
            “Chika, kau cantik sekali! Lihatlah di kaca.” ujar mama takjub. Aku tersenyum. Cepat-cepat aku menelepon Sara untuk datang ke rumahku dan Sara pasti senang melihat penampilanku yang sama sepertinya.
            “Chika? Ada apa?” tanya Sara di seberang sana.
            “Main ke rumahku, yuk! Mamaku baru saja membuat puding roti! Sekalian kita mengerjakan PR matematika. Bagaimana?” ujarku.
            “Boleh. Sampai ketemu di rumahmu!” serunya kemudian pembicaraan kami terputus.
             Setelah membereskan kamarku dan menyiapkan puding roti dan jus jeruk, aku menunggu Sara. Tiba-tiba pintu ruang tamu terketuk dan bisa kutebak itu pasti Sara.
            “Sara!” seruku saat membuka pintu.
            “Chika?” tanyanya kaget.
            Aku juga kaget melihatnya, “Sara? Kau tidak berpakaian sepertiku?” Sara memakai kaos panjang dan celana jeans. Rambutnya dikuncir asal dan rupanya belum disisir.
            “Tidak, aku akan kembali seperti biasa!” ujarnya dengan ekspresi datar. Aku pun menutup pintu sambil menoleh keheranan.
            “Maksudmu?” Tanyaku hampir tertawa.
            Kemudian Sara bercerita, “Selama ini, aku terobsesi dengan kakakku. Kau tahu kan, dia seorang model.”
Aku mengangguk.
Ia melanjutkan, “Kakakku hebat. Semua orang mengatakannya cantik dan ia selalu mendapat dari setiap orang. Aku ingin menjadi sepertinya, tapi ternyata tidak semudah itu. Mau bagaimanapun, aku dan kakakku tidaklah sama. Ia sangat feminin, sedangkan aku lebih suka seperti ini.”
            Aku tertawa mendengarnya, “Jadi selama ini, kau berubah karena ingin mengikuti kakakmu?”
            “Iya,” sahut Sara. “Lalu kenapa kau jadi mengikutiku, Chika?”
            “Aku ingin terlihat sepertimu, memakai dress dan rambut dikepang. Aku kan, jadi terlihat seperti putri Inggris!” ujarku.
            “Tidak, kau tidak seperti putri Inggris. Kau jadi mirip tukang perah susu sapi!” ujarnya sambil menertawaiku. “Chika, lebih baik kita jadi diri sendiri! Kita kan, cocoknya pakai baju seperti ini, kenapa harus mengikuti orang lain? Tapi, kita tetap berbeda, kau suka memakai celana panjang dan aku suka memakai celana sebatas lutut, dan itu tidak masalah, bukan?”
            Aku tertegun mendengarnya. Kemudian aku langsung mengambil baju mainku dan mengganti dressku di kamar mandi. Setelah itu balik ke kamarku.
            “Nah, bagaimana?” ujarku pada Sara. “Kita berpakaian seperti dulu lagi! Setelah ini, kita akan memanjat pohon!”
            “Ya, jadi diri sendiri memang lebih asyik!” katanya sambil menuangkan jus jeruk ke gelasnya. “Oya, kuharap kau bisa mencabut kembali kata-kataku saat makan siang tiga hari yang lalu di sekolah.”
            “Tentu saja. Kau, sih, aneh-aneh saja!” tukasku.
            “Tidak lagi-lagi, deh! Aku jadi mirip badut, dan kau jadi mirip tukang perah susu sapi. Kalau berpakaian seperti ini kan, jadi terlihat siapa diriku dan siapa dirimu.”
            “Iya, kita pelan-pelan saja tunggu sampai dewasa. Tak usah buru-buru!”
            Sara mengangguk. Aku tersenyum dalam hati. Kami pun mengerjakan PR matematika, kemudian menikmati puding roti. Setelah itu, kami meminta izin kepada mama untuk bermain di luar. Di dekat masjid, ada pohon ceri besar, tempat aku dan Sara juga teman-teman yang lain biasa bermain. Masjid itu terletak tak jauh dari rumahku. Bahkan dari rumahku pun, pohon ceri besar itu sudah terlihat.
            “Sudah lama kita tidak pernah memanjat pohon lagi sejak kenaikan kelas. Ayo, kita kesana, Chika!” seru Sara sambil menarik tanganku.
Semakin siang, matahari bersinar sangat terik, tetapi tidak terlalu panas. Kami terus berlari menyusuri jalanan kompleks menuju pohon ceri besar itu. Sesekali aku mengadah ke langit biru cerah dan pohon-pohon yang daunnya tertiup angin, sambil membayangkan betapa asyiknya hidup ini!
...dan betapa asyiknya menjadi diriku sendiri.
J

You Might Also Like

0 komentar

Subscribe