Namaku
Chika. Semua orang tentu mengenalku. Aku terkenal sebagai anak yang cerewet, ingin
tahu, dan tidak mau diam. Aku hampir dicap sebagai anak nakal saat aku masih
TK. Aku tidak seperti anak perempuan lainnya yang kebanyakan senang berkutik
pada boneka dan kecantikan. Aku lebih suka memanjat pohon dan berlama-lama di
atas sana, mencari ikan di kolam berlumpur, bermain tanah, dan masih banyak
hal-hal aneh lainnya yang sering kulakukan.
Sekarang
aku sudah kelas 4 SD. Mama bilang, aku bukan anak kecil lagi. Jadi aku harus
bisa belajar menjadi dewasa, harus bisa tahu mana yang benar dan tidak. Tapi,
aku tidak mempedulikan apa kata mama. Aku tetap ingin bermain sesuka hatiku!
Esoknya,
aku bangun pagi sekali. Hari ini adalah Hari Senin. Seperti biasa, sebelum sekolah
aku memberi makan kelinciku terlebih dahulu.
“Moli, ayo dimakan
kangkungnya! Kangkung ini kuambil dari kulkas. Ayo, dimakan!” seruku sambil
memberikan seikat kangkung segar kepada kelinciku. Moli mencium kangkung itu. ‘Hm, lezat!’ pikirnya. Moli pun memakan
kangkung itu dengan lahap. Aku senang sekali melihatnya.
Setelah itu, aku
berangkat ke sekolah dengan diantar mama. Saat aku datang, sekolah sudah ramai
sekali. Semua anak sudah bersiap-siap untuk melaksanakan upacara Hari Senin.
Aku langsung buru-buru menaruh tasku dan berhambur bersama teman-temanku.
“Hai, Chika!” sapa Sara
padaku.
“Hai, Sara!”
balasku sambil tersenyum. Sara adalah sahabat dekatku. Aku mengenalnya karena
dulu rumah kami bersebelahan, tetapi sekarang ia sudah pindah agak menjauh dari
rumahku, tetapi masih satu kompleks denganku.
“Lihat, aku beli
gelang baru, lho! Bagus, kan?” Sara menunjukkan gelang warna pink mengkilat yang bergemerincing itu.
Semua teman-temanku menoleh dan aku terbelalak.
“Hihihi, mirip kalung kucingku.” Aku
terkikik melihat gelang Sara bergemerincing. Sara tertawa mendengarku.
Teman kami, Adel,
ikut menanggapi gelang Sara. “Sara, di sekolah kan, tidak boleh pakai hiasan
yang mencolok!”
“Ini tidak
mencolok, Adel. Toh, harganya lima ribuan!” Sara tertawa.
“Oya, Chika, mulai
hari ini aku akan menjadi perempuan yang baik, dan aku tidak memanjat pohon
lagi!” bisik Sara padaku. Aku hanya terdiam mendengar bisikkan Sara. Tiba-tiba
bel berbunyi, semua anak mulai berbaris di lapangan.
J
Di
rumah, aku memikirkan kata-kata Sara saat di sekolah. Seharian tadi, Sara tidak
seperti yang dulu lagi. Sara tampak bertingkah laku manis selama di sekolah. Ia
tidak lagi tertawa keras sepertiku, ia tertawa lembut penuh kewibawaan. Saat
aku bercanda bersama teman-teman yang lain, ia malah berhambur bersama Irene, dan
mereka menyiram tanaman kelas. Untungnya, aku sempat bertanya pada Sara saat
makan siang.
“Sara, kenapa kau tidak memanjat pohon lagi?”
tanyaku.
“Karena aku perempuan dan sudah
kelas 4 SD, aku bukan anak kecil lagi! Jadi aku harus bisa menjadi anak yang
baik. Kau juga, Chika! Jangan suka bertingkah aneh seenaknya!” ujar Sara.
“Memangnya, aku aneh kenapa?”
tanyaku tak mengerti.
“Kau tahu, anak perempuan tak boleh
sembarangan bertingkah! Seorang putri raja sangat menjaga penampilannya. Ia
selalu memakai gaun yang indah, ia pintar menari dan bernyanyi, rambutnya
terawat dan indah!” ujar Sara yang semakin membuatku tidak mengerti. Sara
bicara apa, sih? Aku terus melanjutkan makanku.
“Satu
lagi, kau jangan sering-sering bermain dengan tanah dan hal-hal menjijikkan itu
lagi, Chika!”
Aku tersedak. Sara tidak salah?
Dulu, aku dan Sara selalu bersama. Aku pernah diajak
ke rumah pamannya yang mempunyai perkebunan dan peternakkan yang luas. Disana,
benar-benar seperti suasana desa. Aku dan Sara suka sekali bermain lumpur,
mengejar bebek, memandikan kerbau, berlari-lari di ladang jagung, bermain
lumpur, dan memberi makan hewan ternak. Sejak itu aku dan Sara menjadi anak
yang tidak takut kotor. Tapi, sekarang? Sara malah melarangku untuk bermain
tanah dan hal-hal menjijikkan itu lagi.
J
Sudah
tiga hari berlalu sejak Sara berubah. Hari ini sekolah kami libur, karena
tanggal merah Nasional. Aku sudah janji dengan Sara untuk pergi membeli
alat-alat yang diperlukan untuk pelajaran kesenian Hari Jum’at. Sebelum
berangkat, aku harus menjemput Sara terlebih dahulu. Ternyata, Sara sudah siap
dengan kaos warna pinknya dan rok sebatas
lutut dengan motif bunga-bunga. Rambutnya dikucir kuda dengan pita warna-warni.
“Sara,
kita mau ke toko buku bukan ke pasar ataupun ke wonderland!” pekikku saat melihat penampilan Sara yang lain dari
biasanya.
“Ya,
memang. Kenapa?”
“Tidak,
kau mirip mamaku kalau ingin ke pasar, dan pita warna-warnimu, kau jadi lebih
mirip badut. Kau kenapa, sih?”
“Badut
kan, tidak pakai pita warna-warni, Chika! Tapi terimakasih, lho!” Ia memelukku
sambil berteriak pas di telingaku.
“Lho,
kok, kau malah berterimakasih?” tanyaku heran.
“Bilang
saja aku cantik dengan gaya seperti ini. Ya, kan?” ujarnya tertawa. Aku pura-pura
tidak mendengarnya. Sepanjang jalan, Sara bernyanyi dengan riang, dan aku hanya
mendengarnya dengan bersabar. Sesekali aku harus menutup kedua telingaku karena
ia bernyanyi dengan keras dan keluar dari batas peraturan bernyanyi.
Saat di toko buku, kami pun membeli alat-alat
kesenian yang kami perlukan. Setelah membayar di kasir, tiba-tiba ia menarikku
menuju tempat buku-buku.
“Kau
ingin membeli buku apa? Kau kan, tidak suka membaca?” tanyaku.
“Aku
ingin melihat majalah fashion. Disini
menjual berbagai buku dan majalah tentang fashion.”
jawabnya sambil mencari-cari majalah yang ia maksud. Aku mengikutinya dari
belakang.
“Nah,
ini dia!” serunya sambil menunjukkan majalah fashion yang terlihat tebal itu kepadaku.
“Apa,
sih, bagusnya? Majalah itu kan, buat ibu-ibu!” kataku tak tertarik sama sekali.
“Aduh,
kau belum baca, sudah bilang begini-begitu. Ayo, lihat dulu!”
Sara
membaca keras-keras sambil sesekali terlihat takjub melihat gambar-gambar gaya fashion yang terlihat tidak jelas
bagiku.
“Sara,
ini bukan perpustakaan. Ini toko buku. Kalau kau ingin membaca, kau harus
membelinya terlebih dahulu!” bisikku pada Sara sambil melihat sekeliling kalau
tiba-tiba petugas toko buku mengusir kami karena diam-diam membaca buku tetapi
tidak membelinya.
“Uangku
sudah habis.” bisiknya. Aku tertawa dalam hati. Setelah Sara selesai membaca
majalah, ia mengajakku pulang. Raut wajahnya tampak senang dan seperti ada
sesuatu yang sudah tidak sabar akan ia lakukan.
“Chika,
besok aku akan meminta mama untuk mengantarku ke salon!”
“Salon?
Sejak kapan kamu jadi suka dengan hal-hal yang berbau salon begitu, Sara?” tukasku.
Setahuku, Sara benci sekali dengan salon apalagi pergi kesana.
“Di
majalah tadi bilang, kalau mau dapat rambut yang indah, kita bisa creambath di salon.” katanya.
Aku menepuk
keningku. ‘Sara kenapa jadi seperti ini?’
tanyaku dalam hati.
J
Sesampai
di rumah, aku segera menuju kamarku. Aku menghadap kaca dan melihat
penampilanku yang terlihat seperti laki-laki. Sara juga suka berpakaian
sepertiku. Tapi itu dulu, sekarang ia sudah berubah seperti kebanyakan
perempuan. Dengan Sara seperti itu, apakah aku harus berubah menjadi seperti Sara?
Memakai baju perempuan, rambut digerai indah atau dikuncir kuda, dan tidak
memanjat pohon lagi?
Tiba-tiba
mama mengetuk pintu kamar dan menemuiku.
“Mama,
sebenarnya aku cocok pakai baju perempuan atau berpakaian seperti ini?” tanyaku
menghampiri mama.
“Hah?”
mama kaget mendengar pertanyaanku.
“Mau
pakai baju apapun, kau tetap cantik, Chika! Jadilah dirimu sendiri.” ujar mama
sambil menepuk pundakku. Aku dan mama berkaca bersama. Lalu kami tersenyum.
“Tapi,
Ma, boleh aku pakai dress yang pernah
mama belikan waktu itu?”
“Tentu
saja, kau akan terlihat lebih cantik!” kata mama tersenyum. Aku segera
mengganti baju mainku dengan dress selutut
bermotif bunga-bunga. Mama pun mengepang rambutku. Aku jadi semakin mirip putri
Inggris!
“Chika,
kau cantik sekali! Lihatlah di kaca.” ujar mama takjub. Aku tersenyum.
Cepat-cepat aku menelepon Sara untuk datang ke rumahku dan Sara pasti senang
melihat penampilanku yang sama sepertinya.
“Chika? Ada apa?” tanya Sara di seberang
sana.
“Main ke rumahku, yuk! Mamaku baru saja membuat
puding roti! Sekalian kita mengerjakan PR matematika. Bagaimana?” ujarku.
“Boleh. Sampai ketemu di rumahmu!” serunya kemudian pembicaraan kami
terputus.
Setelah
membereskan kamarku dan menyiapkan puding roti dan jus jeruk, aku menunggu Sara.
Tiba-tiba pintu ruang tamu terketuk dan bisa kutebak itu pasti Sara.
“Sara!”
seruku saat membuka pintu.
“Chika?”
tanyanya kaget.
Aku
juga kaget melihatnya, “Sara? Kau tidak berpakaian sepertiku?” Sara memakai
kaos panjang dan celana jeans.
Rambutnya dikuncir asal dan rupanya belum disisir.
“Tidak,
aku akan kembali seperti biasa!” ujarnya dengan ekspresi datar. Aku pun menutup
pintu sambil menoleh keheranan.
“Maksudmu?”
Tanyaku hampir tertawa.
Kemudian
Sara bercerita, “Selama ini, aku terobsesi dengan kakakku. Kau tahu kan, dia
seorang model.”
Aku mengangguk.
Ia melanjutkan, “Kakakku
hebat. Semua orang mengatakannya cantik dan ia selalu mendapat dari setiap
orang. Aku ingin menjadi sepertinya, tapi ternyata tidak semudah itu. Mau
bagaimanapun, aku dan kakakku tidaklah sama. Ia sangat feminin, sedangkan aku
lebih suka seperti ini.”
Aku
tertawa mendengarnya, “Jadi selama ini, kau berubah karena ingin mengikuti
kakakmu?”
“Iya,”
sahut Sara. “Lalu kenapa kau jadi mengikutiku, Chika?”
“Aku
ingin terlihat sepertimu, memakai dress dan
rambut dikepang. Aku kan, jadi terlihat seperti putri Inggris!” ujarku.
“Tidak,
kau tidak seperti putri Inggris. Kau jadi mirip tukang perah susu sapi!” ujarnya
sambil menertawaiku. “Chika, lebih baik kita jadi diri sendiri! Kita kan,
cocoknya pakai baju seperti ini, kenapa harus mengikuti orang lain? Tapi, kita
tetap berbeda, kau suka memakai celana panjang dan aku suka memakai celana sebatas
lutut, dan itu tidak masalah, bukan?”
Aku
tertegun mendengarnya. Kemudian aku langsung mengambil baju mainku dan
mengganti dressku di kamar mandi.
Setelah itu balik ke kamarku.
“Nah,
bagaimana?” ujarku pada Sara. “Kita berpakaian seperti dulu lagi! Setelah ini,
kita akan memanjat pohon!”
“Ya,
jadi diri sendiri memang lebih asyik!” katanya sambil menuangkan jus jeruk ke
gelasnya. “Oya, kuharap kau bisa mencabut kembali kata-kataku saat makan siang
tiga hari yang lalu di sekolah.”
“Tentu
saja. Kau, sih, aneh-aneh saja!” tukasku.
“Tidak
lagi-lagi, deh! Aku jadi mirip badut, dan kau jadi mirip tukang perah susu
sapi. Kalau berpakaian seperti ini kan, jadi terlihat siapa diriku dan siapa
dirimu.”
“Iya,
kita pelan-pelan saja tunggu sampai dewasa. Tak usah buru-buru!”
Sara
mengangguk. Aku tersenyum dalam hati. Kami pun mengerjakan PR matematika,
kemudian menikmati puding roti. Setelah itu, kami meminta izin kepada mama
untuk bermain di luar. Di dekat masjid, ada pohon ceri besar, tempat aku dan Sara
juga teman-teman yang lain biasa bermain. Masjid itu terletak tak jauh dari
rumahku. Bahkan dari rumahku pun, pohon ceri besar itu sudah terlihat.
“Sudah
lama kita tidak pernah memanjat pohon lagi sejak kenaikan kelas. Ayo, kita
kesana, Chika!” seru Sara sambil menarik tanganku.
Semakin siang, matahari
bersinar sangat terik, tetapi tidak terlalu panas. Kami terus berlari menyusuri
jalanan kompleks menuju pohon ceri besar itu. Sesekali aku mengadah ke langit
biru cerah dan pohon-pohon yang daunnya tertiup angin, sambil membayangkan
betapa asyiknya hidup ini!
...dan
betapa asyiknya menjadi diriku sendiri.
J